watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

Cerita lesbi
gairah cewek setengah baya

Saya baru saja tinggal di sebuah
daerah perumahan yang relatif baru di daerah
pinggiran kota-maaf, nama daerah tersebut tidak
saya sebutkan mengingat untuk menjaga nama
baik dan harga diri keluarga terutama suami dan
kedua anak saya. Saya tinggal di situ baru sekitar
6 bulanan.
Karena daerah perumahan tersebut masih baru
maka jumlah keluarga yang menempati rumah di
situ masih relatif sedikit tetapi khusus untuk blok
daerah rumah saya sudah lumayan banyak dan
ramai. Rata-rata keluarga kecil seperti keluarga
saya juga yaitu yang sudah masuk generasi
Keluarga Berencana, rata-rata hanya mempunyai
dua anak tetapi ada juga yang hanya satu anak
saja.
Sudah seperti biasanya bila kita menempati
daerah perumahan baru, saya dengan sengaja
berusaha untuk banyak bergaul dengan para
tetangga bahkan juga dengan tetangga-tetangga
di blok yang lain. Dari hasil bergaul tersebut
timbul kesepakatan di antara ibu-ibu di blok
daerah rumahku untuk mengadakan arisan sekali
dalam sebulan dan diadakan bergiliran di setiap
rumah pesertanya.
Suatu ketika sedang berlangsung acara arisan
tersebut di sebuah rumah yang berada di deretan
depan rumahku, pemilik rumah tersebut biasa
dipanggil Bu Soni (bukan nama sebenarnya) dan
sudah lebih dulu satu tahun tinggal di daerah
perumahan ini daripada saya. Bu Soni bisa
dibilang ramah, banyak ngomongnya dan
senang bercanda dan sampai saat tulisan ini aku
buat dia baru mempunyai satu anak, perempuan,
berusia 8 tahun walaupun usia rumah tangganya
sudah 10 tahun sedangkan aku sudah 30 tahun.
Aku menikah ketika masih berusia 22 tahun.
Suaminya bekerja di sebuah perusahaan swasta
dan kehidupannya juga bisa dibilang kecukupan.
Setelah acara arisan selesai saya masih tetap asyik
ngobrol dengan Bu Soni karena tertarik dengan
keramahan dan banyak omongnya itu sekalipun
ibu-ibu yang lain sudah pulang semua. Dia
kemudian bertanya tentang keluargaku, “Jeng
Mar. Putra-putranya itu sudah umur berapa, sih,
kok sudah dewasa-dewasa, ya?” (Jeng Mar adalah
nama panggilanku tetapi bukan sebenarnya)
tanya Bu Soni kepadaku.
“Kalau yang pertama 18 tahun dan yang paling
ragil itu 14 tahun. Cuma yaitu Bu, nakalnya wah,
wah, waa.. Aah benar-benar, deh. Saya, tuh,
suka capek marahinnya.”
“Lho, ya, namanya juga anak laki-laki. Ya,
biasalah, Jeng.”
“Lebih nikmat situ, ya. Anak cuma satu dan
perempuan lagi. Nggak bengal.”
“Ah, siapa bilang Jeng Mar. Sama kok. Cuma
yaitu, saya dari dulu, ya, cuma satu saja.
Sebetulnya saya ingin punya satu lagi, deh. Ya,
seperti situ.”
“Lho, mbok ya bilang saja sama suaminya. ee..
siapa tahu ada rejeki, si putri tunggalnya itu bisa
punya adik. Situ juga sama suaminya kan masih
sama-sama muda.”
“Ya, itulah Jeng. Papanya itu lho, suka susah.
Dulu, ya, waktu kami mau mulai berumah tangga
sepakat untuk punya dua saja. Ya, itung-itung
mengikuti program pemerintah, toh, Jeng. Tapi
nggak tahu lah papanya tuh. Kayaknya sekarang
malah tambah asik saja sama kerjaannya. Terlalu
sering capek.”
“O, itu toh. Ya, mbok diberi tahu saja kalau
sewaktu-waktu punya perhatian sama keluarga.
‘Kan yang namanya kerja itu juga butuh istirahat.
Mbok dirayu lah gitu.”
“Wah, sudah dari dulu Jeng. Tapi, ya, tetap susah
saja, tuh. Sebenernya ini, lho, Jeng Mar. Eh, maaf,
ya, Jeng kalo’ saya omongin. Tapi Jeng Mar
tentunya juga tau dong masalah suami-istri ‘kan.”
“Ya, memang. Ya, orang-orang yang sudah
seperti kita ini masalahnya sudah macem-
macem, toh, Bu. Sebenarnya Bu Soni ini ada
masalah apa, toh?”
“Ya, begini Jeng, suami saya itu kalo’ bergaul
sama saya suka cepet-cepet mau rampung saja,
lho. Padahal yang namanya istri seperti kita-kita
ini ‘kan juga ingin membutuhkan kenikmatan
yang lebih lama, toh, Jeng.”
“O, itu, toh. Mungkin situ kurang lama
merayunya. Mungkin suaminya butuh variasi
atau model yang agak macem-macem, gitu.”
“Ya, seperti apa ya, Jeng. Dia itu kalo’ lagi mau,
yang langsung saja. Saya seringnya nggak
dirangsang apa-apa. Kalo’ Jeng Mar, gimana, toh?
Eh, maaf lho, Jeng.”
“Kalo’ saya dan suami saya itu saling rayu-
merayu dulu. Kalo’ suami saya yang mulai
duluan, ya, dia biasanya ngajak bercanda dulu
dan akhirnya menjurus yang ke porno-porno
gitulah. Sama seperti saya juga kalau misalnya
saya yang mau duluan.””Terus apa cuma gitu
saja, Jeng.”
“O, ya tidak. Kalo’ saya yang merayu, biasanya
punya suami saya itu saya pegang-pegang.
Ukurannya besar dan panjang, lho. Terus untuk
lebih menggairahkannya, ya, punyanya itu saya
enyot dengan mulut saya. Saya isep-isep.”
“ii.. Iih. Jeng Mar, ih. Apa nggak jijik, tuh? Saya
saja membayangkannya juga sudah geli. Hii..”
“Ya, dulu waktu pertama kali, ya, jijik juga, sih.
Tetapi suami saya itu selalu rajin, kok,
membersihkan gituannya, jadi ya lama-lama buat
saya nikmat juga. Soalnya ukurannya itu, sih,
yang lumayan besar. Saya sendiri suka gampang
terangsang kalo’ lagi ngeliat. Mungkin situ juga
kalo’ ngeliat, wah pasti kepengen, deh.”“Ih, saya
belon pernah, tuh, Jeng. Lalu kalo’ suaminya
duluan yang mulai begimana?”
“Saya ditelanjangi sampai polos sama sekali. Dia
paling suka merema-remas payudara saya dan
juga menjilati putingnya dan kadang lagaknya
seperti bayi yang sedang mengenyot susu.”,
kataku sambil ketawa dan tampak Bu Soni juga
tertawa.
“Habis itu badan saya dijilati dan dia juga paling
suka menjilati kepunyaan saya. Rasanya buat
saya, ya, nikmat juga dan biasanya saya semakin
terangsang untuk begituan. Dia juga pernah
bilang sama saya kalo’ punya saya itu semakin
nikmat dan saya disuruh meliara baik-baik.”
“Ah, tapi untuk yang begituan itu saya dan suami
saya sama sekali belum pernah, lho, Jeng. Tapi
mungkin ada baiknya untuk dicoba juga, ya,
Jeng. Tapi tadi itu masalah yang situ dijilatin
punyanya. Rasa enaknya seperti apa, sih, Jeng.”
“Wah, Bu Soni ini, kok, seperti kurang pergaulan
saja, toh.”
“Lho, terus terang Jeng. Memang saya belon
pernah, kok.”
“Ya, geli-geli begitulah. Susah juga untuk dijelasin
kalo’ belum pernah merasakan sendiri.” Lalu kami
berdua tertawa.
Setelah berhenti tertawa, aku bertanya, “Bu Soni
mau tau rasanya kalau gituannya dijilati?”
“Yah, nanti saya rayu, deh, suami saya. Mungkin
nikmat juga ya.” Ucapnya sambil tersenyum.
“Apa perlu saya dulu yang coba?”, tanyaku
sambil bercanda dan tersenyum.
“Hush!! Jeng Mar ini ada-ada saja, ah”, sambil
tertawa.
“Ya, biar tidak kaget ketika dengan suaminya
nanti. Kita ‘kan juga sama-sama wanita.”
“Wah, kayak lesbian saja. Nanti saya jadi
ketagihan, lho. Malah takutnya lebih senang sama
situ daripada sama suami saya sendiri. Ih! Malu’
akh.”, sambil tertawa.
“Atau kalo’ nggak mau gitu, nanti saya kasih tau
gimana membuat penampilan bulu gituannya
biar suaminya situ tertarik. Kadang-kadang
bentuk dan penataannya juga mempengaruhi
rangsangan suami, lho, Bu Soni.”
“Ah, Jeng ini.”
“Ee! Betul, lho. Mungkin bentuk bulu-bulu
gituannya Bu Soni penampilannya kurang
merangsang. Kalo’ boleh saya lihat sebentar
gimana?”
“Wah, ya, gimana ya. Tapii.. ya boleh, deh. Eh,
tapi saya juga boleh liat donk punyanya situ.
Sama-sama donk, ‘kan kata Jeng tadi kita ini
sama-sama wanita.””Ya, ‘kan saya cuma mau
bantu situ supaya bisa usaha untuk punya anak
lagi.””Kalo’ gitu kita ke kamar saja, deh. Suami
saya juga biasanya pulang malam. Yuk, Jeng.”
Langsung kita berdua ke kamar Bu Soni.
Kamarnya cukup tertata rapi, tempat tidurnya
cukup besar dan dengan kasur busa. Di
dindingnya ada tergantung beberapa foto Bu Soni
dan suaminya dan ada juga foto sekeluarga
dengan anaknya yang masih semata wayang.
Saya kemudian ke luar sebentar untuk telepon ke
rumah kalau pulangnya agak telat karena ada
urusan dengan perkumpulan ibu-ibu dan
kebetulan yang menerima suamiku sendiri dan
ternyata dia setuju saja.
Setelah kita berdua di kamar, Bu Soni bertanya
kepadaku, “Bagaimana Jeng? Kira-kira siap?”
“Ayolah. Apa sebaiknya kita langsung telanjang
bulat saja?”
“OK, deh.”, jawab Bu Soni dengan agak
tersenyum malu.
Akhirnya kita berdua mulai melepas pakaian satu-
persatu dan akhirnya polos lah semua. Bulu
kemaluan Bu Soni cukup lebat juga hanya
bentuknya keriting dan menyebar, tidak seperti
miliku yang lurus dan tertata dengan bentuk
segitiga ke arah bawah. Lalu aku menyentuh
payudaranya yang agak bulat tetapi tidak terlalu
besar, “Lumayan juga, lho, Bu.” Lalu Bu Soni pun
langsung memegang payudaraku juga sambil
berkata, “Sama juga seperti punya Jeng.” Aku
pun minta ijin untuk mengulum kedua
payudaranya dan dia langsung menyanggupi.
Kujilati kedua putingnya yang berwarna agak
kecoklat-coklatan tetapi lumayan nikmat juga. Lalu
kujilati secara keseluruhan payudaranya. Bu Soni
nampak terangsang dan napasnya mulai
memburu. “Enak juga, ya, Jeng. Boleh punya
Jeng saya coba juga?””Silakan saja.”, ijinku. Lalu
Bu Soni pun melakukannya dan tampak sekali
kalau dia masih sangat kaku dalam soal seks,
jilatan dan kulumannya masih terasa kaku dan
kurang begitu merangsang. Tetapi lumayanlah,
dengan cara seperti ini aku secara tidak langsung
sudah menolong dia untuk bisa mendapatkan
anak lagi.
Setelah selesai saling menjilati payudara, kami
berdua duduk-duduk di atas tempat tidur
berkasur busa yang cukup empuk. Aku
kemudian memohon Bu Soni untuk melihat liang
kewanitaannya lebih jelas, “Bu Soni. Boleh nggak
saya liat gituannya? Kok bulu-bulunya agak
keriting. Tidak seperti milik saya, lurus-lurus dan
lembut.” Dengan agak malu Bu Soni
membolehkan, “Yaa.. silakan saja, deh, Jeng.”
Aku menyuruh dia, “Rebahin saja badannya terus
tolong kangkangin kakinya yang lebar.” Begitu dia
lakukan semuanya terlihatlah daging
kemaluannya yang memerah segar dengan
bibirnya yang sudah agak keluar dikelilingi oleh
bulu yang cukup lebat dan keriting. mm.. Cukup
merangsang juga penampilannya.
Kudekatkan wajahku ke liang kewanitaannya lalu
kukatakan kepada Bu Soni bahwa bentuk
kemaluannya sudah cukup merangsang hanya
saja akan lebih indah pemandangannya bila
bulunya sering disisir agar semakin lurus dan rapi
seperti milikku. Lalu kusentuh-sentuh daging
kemaluannya dengan tanganku, empuk dan
tampak cukup terpelihara baik, bersih dan tidak
ada bau apa-apa. Nampak dia agak kegelian ketika
sentuhan tanganku mendarat di permukaan alat
kelaminnya dan dia mengeluh lirih, “Aduh, geli,
lho, Jeng.”
Cerita Dewasa Perempuan Lesbi
Cerita Panas Wanita Lesbi
Cerita Hot Perempuan Lesbian
“Apa lagi kalo’ dijilat, Bu Soni. Nikmat, deh. Boleh
saya coba?”
“Aduh, gimana, ya, Jeng. Saya masih jijik, sih.”
“Makanya dicoba.”, kataku sambil kuelus salah
satu pahanya.
“mm.. Ya, silakan, deh, Jeng. Tapi saya tutup
mata saja, ah.”
Lalu kucium bibir kemaluannya sekali, chuph!!
“aa.. Aah.”, Bu Soni mengerang dan agak
mengangkat badannya. Lalu kutanya, “Kenapa?
Sakit, ya?” Dia menjawab, “Geli sekali.” “Saya
teruskan, ya?” Bu Soni pun hanya mengangguk
sambil tersenyum. Kuciumi lagi bibir
kemaluannya berkali-kali dan rasa geli yang dia
rasakan membuat kedua kakinya bergerak-gerak
tetapi kupegangi kedua pangkal pahanya erat-erat.
Badannya bergerinjal-gerinjal, pantatnya naik
turun. Uh! Pemandangan yang lucu sekali, aku
pun sempat ketawa melihatnya. Saya keluarkan
lidah dan saya sentuhkan ujungnya ke bibir
kemaluannya berkali-kali. Oh! Aku semakin
terbawa napsu. Kujilati keseluruhan permukaan
memeknya, gerakanku semakin cepat dan ganas.
Oh, Bu Soni, memekmu nikmaa..aat sekali.
Aku sudah tak ingat apa-apa lagi. Semua
terkonsentrasi pada pekerjaan menjilati liang
kewanitaan Bu Soni. Emm.., Enak sekali. Terus
kujilati dengan penuh napsu. Pinggir ke tengah
dan gerakan melingkar. Kumasukan lidahku ke
dalam celah bibir kemaluannya yang sudah mulai
membuka. Ouw! Hangat sekali dan cairannya
mulai keluar dan terasa agak asin dan baunya
yang khas mulai menyengat ke dalam lubang
hidungku. Tapi aku tak peduli, yang penting rasa
kemaluan Bu Soni semakin lezat apalagi dibumbui
dengan cairan yang keluar semakin banyak.
Kuoleskan ke seluruh permukaan kemaluannya
dengan lidahku.
Jilatanku semakin licin dan seolah-olah semua
makanan yang ku makan pada saat acara arisan
tadi rasanya tidak ada apa-apanya. Badan Bu Soni
bergerinjal semakin hebat begitu juga pantatnya
naik-turun dengan drastis. Dia mengerang lirih,
“aa.. Ah, ee.. Eekh, ee.. Eekh, Jee.. Eeng, auw, oo..
Ooh. Emm.. Mmh. Hah, hah, hah,.. Hah.” Dan
saat mencapai klimaks dia merintih, “aa.., aa..,
aa.., aa.., aah”, Cairan kewanitaannya keluar agak
banyak dan deras. OK, nampaknya Bu Soni
sudah mencapai titik puncaknya.
Tampak Bu Soni telentang lemas dan aku tanya,
“Bagaimana? Enak? Ada rasa puas?” “Lumayan
nikmat, Jeng. Situ nggak jijik, ya.”
“Kan sudah biasa juga sama suami.” Kemudian
aku bertanya sembari bercanda, “Situ mau coba
punya saya juga?”
“Ah, Jeng ini. Jijik ‘kan.”, sembari ketawa.
“Yaa.. Mungkin belon dicoba. Punya saya selalu
bersih, kok. ‘Kan suami saya selalu mengingatkan
saya untuk memeliharanya.” Kemudian Bu Soni
agak berpikir, mungkin ragu-ragu antara mau
atau tidak. Lalu, “Boleh, deh, Jeng. Tapi saya
pelan-pelan saja, ah. Nggak berani lama-lama.”
“Ya, ndak apa-apa. ‘Kan katanya situ belum biasa.
Betul? Mau coba?” tantangku sembari senyum.
Lalu dia cuma mengangguk. Kemudian aku
menelentangkan badanku dan langsung
kukangkangkan kedua kakiku agar terlihat liang
kewanitaanku yang masih indah bentuknya.
Tampak Bu Soni mulai mendekatkan wajahnya ke
liang kewanitaanku lalu berkata, “Wah, Jeng bulu-
bulunya lurus, lemas dan teratur. Pantes
suaminya selalu bergairah.” Aku hanya tertawa.
Tak lama kemudian aku rasakan sesuatu yang
agak basah menyentuh kemaluanku. Kepalaku
aku angkat dan terlihat Bu Soni mulai berani
menyentuh-nyentuhkan ujung lidahnya ke liang
kewanitaanku. Kuberi dia semangat, “Terus,
terus, Bu. Saya merasa nikmat, kok”. Dia hanya
memandangku dan tersenyum. Kurebahkan lagi
seluruh tubuhku dan kurasakan semakin luas
penampang lidah Bu Soni menjilati liang
kewanitaan saya. Oh! Aku mulai terangsang.
Emm.. Mmh. Bu Soni sudah mulai berani. oo..
Ooh nikmat sekali. Sedaa.. Aap. Terasa semakin
lincah gerakan lidahnya, aku angkat kepalaku dan
kulihat Bu Soni sudah mulai tenggelam dalam
kenikmatan, rupanya rasa jijik sudah mulai sirna.
Gerakan lidahnya masih terasa kaku, tetapi ini
sudah merupakan perkembangan. Syukurlah.
Mudah-mudahan dia bisa bercumbu lebih hebat
dengan suaminya nanti.
Lama-kelamaan semakin nikmat. Aku merintih
nikmat, “Emm.. Mmh. Ouw. aa.. Aah, aa.. Aah.
uu.. uuh. te.. te.. Rus teruu..uus.” Bibir
kemaluanku terasa dikulum oleh bibir mulut Bu
Soni. Terasa dia menciumi kemaluanku dengan
bernafsu. Emm.. Mmh, enaknya. Untuk lebih
nikmat Bu Soni kusuruh, “Pegang dan elus-elus
paha saya. Enak sekali Bu.” Dengan spontan
kedua tangannya langsung mengayunkan
elusannya di pahaku. Dia mainkan sampai
pangkal paha. Bukan main! Sudah sama layaknya
aku main dengan suamiku sendiri. Terlihat Bu
Soni sudah betul-betul asyik dan sibuk menjilati
liang kewanitaanku. Gerakan ke atas ke bawah
melingkar ke seluruh liang kewanitaanku. Seolah-
olah dia sudah mulai terlatih.
Kemudian aku suruh dia untuk menyisipkan
lidahnya ke dalam liang kewanitaanku. Dahinya
agak berkerut tetapi dicobanya juga dengan
menekan lidahnya ke lubang di antara bibir
kemaluan saya. “Aaa.. Aakh! Nikmat sekali. Aku
mulai naik untuk mencapai klimaks. Kedua
tangannya terus mengelus kedua pahaku tanpa
henti. Aku mulai naik dan terasa lubang
kemaluanku semakin hangat, mungkin lendir
kemaluanku sudah banyak yang keluar. Akhirnya
aku pun mencapai klimaks dan aku merintih, “aa..
Aah, uuh”.
Sialan Bu Soni tampaknya masih asyik menjilati
sedangkan badanku sudah mulai lemas dan lelah.
Bu Soni pun bertanya karena gerak kaki dan
badanku berhenti, “Gimana, Jeng?” Aku berkata
lirih sambil senyum kepadanya, “Jempolan.
Sekarang Bu Soni sudah mulai pinter.” Dia hanya
tersenyum. Aku tanya kembali, “Bagaimana? Situ
masih jijik nggak?”
“Sedikit, kok.”, jawabnya sembari tertawa, dan
akupun ikut tertawa geli.
“Begitulah Bu Soni. Mudah-mudahan bisa
dilanjutkan lebih mesra lagi dengan suaminya,
tetapi jangan bilang, lho, dari saya.”
“oo.., ya, ndak, toh, Jeng. Saya ‘kan juga malu.
Nanti semua orang tahu bagaimana?””Sekarang
yang penting berusaha agar putrinya bisa punya
adik. Kasihan, lho, mungkin sejak dulu dia
mengharapkan seorang adik.”
“Ya, mudah-mudahan lah, Jeng. Rejeki akan
segera datang. Eh! Ngomong-ngomong, Jeng
mau nggak kalo’ kapan-kapan kita bersama kayak
tadi lagi?”
“Naa.., ya, sudah mulai ketagihan, deh. Yaa, itu
terserah situ saja. Tapi saya nggak tanggung
jawab, lho, kalo’ situ lantas bisa jadi lesbian juga.
Saya ‘kan cuma kasih contoh saja.”, jawabku
sembari mengangkat bahu dan Bu Soni hanya
tersenyum.
Kemudian aku cepat-cepat berpakaian karena
ingin segera sampai di rumah, khawatir suamiku
curiga dan berprasangka yang tidak-tidak. Waktu
aku pamit, Bu Soni masih dalam keadaan
telanjang bulat berdiri di depan kaca menyisir
rambut. Untung kejadian ini tak pernah sampai
terbuka sampai aku tulis cerita yang aneh dan
lucu ini. Soal bagaimana kemesraan Bu Soni dan
suaminya selanjutnya, itu bukan urusan saya
tetapi yang penting kelezatan liang kewanitaan Bu
Soni sudah pernah aku rasakan.


Adult | GO HOME | Exit
1/1742
U-ON

inc Powered by Xtgem.com